HALAMAN
PENGESAHAN
ANALISA RESIDU ANTIBIOTIK CHLORAMPHENICOL
(CAP)
PADA PRODUK UDANG WINDU (Penaeus monodon) EBI FURAI BEKU DENGAN METODE Enzym Linked Immunoassay (ELISA)
TUGAS AKHIR
OLEH:
ARDIANA
08 24 116
Tugas Akhir ini Merupakan Salah Satu Syarat untuk
Menyelesaikan Studi pada Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :
Arham Rusli, S.Pi., M. Si Ir. Nurlaeli
Fattah, M. Si
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui Oleh :
Prof. Dr. Ir.
Mursalim, M. Sc. Rivaldi ST,. M. Si
Direktur Politani Pangkep Ketua
Jurusan TPHP
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJIAN
Judul Tugas
Akhir : ANALISA RESIDU ANTIBIOTIK CHLORAMPHENICOL (CAP) PADA PRODUK UDANG WINDU (Penaeus monodon) EBI FURAI BEKU DENGAN
METODE Enzym Linked Immunoassay (ELISA)
Nama Mahasiswa : ARDIANA
NIM : 0824116
Jurusan : Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan
Disahkan Oleh:
Tim Penguji
1.
Arham Rusli, S.Pi. M. Si
(………………………………...)
2.
Ir. Nurlaeli Fattah, M. Si (………………………………...)
3.
Ir. Zaimar, MT (………………………………...)
4.
Ernawati Jassin, S.Si. M.Si (………………………………...)
RINGKASAN
Ardiana 08 24 116, Analisa Residu Antibiotik Chloramphenicol (CAP) Pada Produk Udang Windu (Penaeus monodon) Ebi Furai Beku Dengan Metode Enzym Linked Immunoassay (ELISA) di bawah bimbingan Bapak Arham Rusli dan Ibu Nurlaeli
Fattah.
Spesifikasi
atau standar mutu yang dimiliki suatu perusahaan terhadap produk yang
dihasilkan merupakan alat dalam persaingan untuk memasarkan produknya, karena
itulah diperlukan suatu sistem pengendalian mutu yang baik bagi manajemen
perusahaan.
Salah satu
parameter mutu yang diuji di PT. BOMAR adalah analisa residu chloramphenicol. Analisa tersebut dilakukan sebelum produk
diekpor ke Negara tujuan, dimana standar minimal perdagangan internasional yang ditetapkan yaitu 0,3 ppb.
Tujuan penulisan
tugas akhir ini adalah untuk menganalisa kadar chloramphenicol pada produk udang windu
ebi furai beku dengan metode ELISA Sedangkan Kegunaan tugas akhir ini
adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam mekanisme
kerja analisa residu chloramphenicol
pada produk udang windu ebi furai beku. Meningkatan dan menambah ilmu pengetahuan tentang bahaya penggunaan
antibiotik chloramphenicol dan dampaknya bagi kesehatan manusia.
Penulisan tugas akhir ini berdasarkan
Pengalaman
Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) selama kurang lebih tiga bulan, yaitu bulan Maret sampai Juni 2011, dan praktek ini dilaksanakan di PT. Bogatama
Marinusa,
Makassar.
Hasil pengujian didapatkan residu
antibiotik chloramphenicol pada
produk udang windu ebi furai beku rata-rata dibawah 0,05 ppb,
dimana standar yang ditetapkan oleh perdagangan internasional adalah 0,3 ppb,
sehingga masih memenuhi standar ekspor. Hal penting yang harus diperhatikan
selama proses pengujian antibiotik
chloramphenicol yaitu lama inkubasi, karena akan berpengaruh terhadap hasil
pembacaan absorbansi.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan anugrah dan
nikmat yang tidak terhingga kepada hamba-Nya. Atas izin-Nya pula sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan tugas
akhir dengan judul “Analisa Residu Antibiotik Chloramphenicol
(CAP) Pada Produk Udang Windu (Peneaus monodon)
Ebi Furai Beku Dengan
Metode Enzym linked Immunoassay (ELISA)” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
di Politeknik Pertanian Negeri pangkep. Selama penyelesaian tugas akhir ini
penulis mengalami banyak hambatan dan rintangan akan tetapi berkat usaha keras
dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya tugas akhir ini dapat terselesaikan
Terima kasih penulis
ucapkan dengan segala ketulusan dan kerendahan hati kepada Bapak Arham Rusli
S.Pi,. M.Si dan Ibu Ir. Nurlaeli Fattah M.Si masing-masing
sebagai pembimbing I dan pembimbing II, atas bantuan berupa arahan,
nasehat dan semangat dalam menghadapi berbagai kendala dan tantangan sehingga
penulis dapat merampungkan tugas akhir ini. Tidak lupa pula penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Mursalim,
M. Sc
selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
2.
Bapak Rivaldi ST, M. Si selaku Ketua Jurusan dan
Bapak Ir. Mursida, M. Si selaku Sekertaris
Jurusan Teknologi
Pengolahan Hasil Perikanan
3.
Bapak dan Ibu Dosen Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
khususnya Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan yang telah memberikan
bantuan dan ilmu pengetahuan serta bimbingan selama penulis menempuh
pendidikan.
4.
Bapak Tigor Chendarma selaku pimpinan tertinggi di PT. BOMAR
yang telah memberi izin untuk melaksanakan PKPM
5.
Ibu Sucianti, Selaku Departement Head of Quality Control, Kak Masrawati, Kak Marni, dan Kak
Satriana Selaku Supervisor Quality Control
serta Kak Dwinda dan Kak Suryani Selaku Analis laboratorium pada PT.
BOMAR yang telah senantiasa memberikan bantuan dalam penulisan tugas akhir ini.
6.
Seluruh jajaran Quality Control dan Seluruh Staff HRD pada PT. BOMAR
7.
Saudara saudari yang
memberiku semangat kak Asni, kak pikal, Anhy, Aidhil,
Aswin, Arma dan Amel.
8.
Teman-temanku Irma, Eel safitri, Wiwianti, dan
Rozma wati yang selalu memberi bantuan dan motivasi serta seluruh teman-teman angkatan 21,
terutama jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
9.
Keluarga besar pondok Idola, terutama
sekamarku Fitrianti yang selalu memberi semangat dan keceriaan dalam
hari-hariku.
Belaian kasih sayang
Ibunda Dahniar atas dorongan, doa dan pengorbananya adalah
siraman kesejukan yang tak dapat dibayar
dengan apapun oleh penulis dan kepada
Ayahanda Amiruddin tersayang yang
senantiasa memberiku nasehat, motivasi dan doa yang ikhlas, oleh karena itu
penulis memohon maaf sekaligus ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
kedua orang tuaku tercinta.
Semoga Allah
senantiasa memberikan limpahan rahmat dan ganjaran yang berlipat ganda atas
bantuannya khususnya yang ditulis diatas. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan dimasa
yang akan datang.
Akhirnya penulis
berharap semoga tugas akhir ini dapat memberikan informasi dan tambahan ilmu
bagi pembacanya terutama bagi penulis sendiri. Insya Allah, Amin
Makassar,
Agustus 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN MENGUJI.............................................................. iii
RINGKASAN....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................. v
DAFTAR ISI........................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................
xii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2. Tujuan dan Kegunaan................................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kalsifikasi Udang Windu........................................................................... 4
2.2. Komposisi
Kimia dan Nilai Gizi Daging Udang Windu............................. 5
2.2.1.
Kandungan Protein........................................................................... 6
2.2.2.
Kandungan Air................................................................................. 7
2.2.3.
Kandungan Lemak........................................................................... 8
2.3. Persyaratan Mutu Udang............................................................................ 8
2.4. Kemunduran Mutu Udang...........................................................................
10
2.5. Tinjauan Umum Udang Windu
Ebi Furai Beku...................................... .... 12
2.6. Bahan Tambahan Pangan yang
Dilarang Penggunaannya .......................... 12
2.7. Antibiotik...................................................................................................
13
2.7.1.
Cara Kerja Antibiotik....................................................................... 14
2.7.2. Chloramphenicol.............................................................................14
2.7.3. Dampak Negatif Penggunaan Chloramphenicol........................... ....15
2.7.4. Sumber Antibiotik Chloramphenicol................................................ 16
2.7.5. Larangan Penggunaan Antibiotik Chloramphenicol.......................... 17
2.7.6.
Metode Pengujian Antibiotik Chloramphenicol........................... 18
2.8. Jenis ELISA............................................................................................ 21
2.9.
Prinsip ELISA......................................................................................... 22
BAB III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat.................................................................................. .. 24
3.2. Metode Pengambilan Data...................................................................... ... 24
3.3. Alat dan Bahan...........................................................................................
24
3.4. Prosedur Kerja......................................................................................... . 25
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil...........................................................................................................
27
4.2. Pembahasan...............................................................................................
27
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan................................................................................................
32
5.2. Saran.........................................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
33
LAMPIRAN........................................................................................................ 35
RIWAYAT HIDUP............................................................................................ . 39
DAFTAR TABEL
No Halaman
Teks
1. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Daging Udang Windu................................ 6
2. Komposisi Protein dan Asam Amino Esensial Pada
Udang........................... 7
3. Standar Syarat Mutu Dan
Keamanan Pangan Udang Beku............................ 8
4. Hasil Pengujian Residu Chloramphenicol Pada Produk Udang Windu
Ebi Furai Beku.............................................................................................27
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
Teks
1. Morfologi Udang Windu (Penaeus
monodon)........................................... ...
5
2. Produk Udang Windu Ebi Furai Beku............................................................ 11
3. Struktur Molekul Chloramphenicol..............................................................
14
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
Teks
1. Alur Proses Pengujian Chloramphenicol
(CAP) Metode Elisa..................... 35
2.
Alat Yang Digunakan Untuk Menganalisa Chloramphenicol (CAP)........... 37
3.
Bahan Yang Digunakan Untuk
Menganalisa Chloramphenicol (CAP)........
38
4.
Struktur Organisasi
PT. Bogatama Marinusa Makassar................................ 39
5.
Hasil Pengujian Chloramphenicol Pada Udang Windu Ebi Furai Beku.......
40
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Mutu memegang
peranan penting bagi suatu perusahaan dalam menghasilkan produk
andalannya. Dalam menghadapi tantangan
persaingan yang semakin ketat dan menjaga kepercayaan konsumen pada suatu
produk, perusahaan harus selalu menjaga
mutu produk yang dihasilkannya. Dalam
menghasilkan suatu produk, perusahaan
harus memiliki dan menyusun spesifikasi atau standar mutu tersendiri supaya
tujuan untuk memenuhi spesifikasi produk tercapai. Spesifikasi atau standar mutu yang dimiliki
suatu perusahaan terhadap produk yang dihasilkan merupakan alat dalam
persaingan untuk memasarkan produknya, karena itulah diperlukan suatu sistem
pengendalian mutu yang baik bagi manajemen perusahaan (Anonim, 2010).
PT. Bogatama Marinusa (BOMAR) adalah perusahaan yang
memproduksi udang dengan berbagai macam produk
dan menjamin bahwa makanan tersebut higienis serta baik untuk
dikonsumsi. Untuk menegaskan bahwa
produk yang dihasilkan aman, maka sebelum produk tersebut diekspor terlebih
dahulu dilakukan proses analisa laboratorium terhadap parameter mutu yang
menjadi persyaratan.
Salah satu parameter mutu yang diuji di PT. BOMAR
adalah analisa residu chloramphenicol.
Analisa tersebut dilakukan sebelum
produk diekpor ke Negara tujuan, dimana standar perdagangan internasional yang
ditetapkan yaitu 0,3 ppb (Commision Decision: 2003/181/EC).
Chloramphenicol
merupakan salah satu jenis antibiotik yang penggunaannya banyak dilakukan dalam budidaya akuakultur sebagai akibat dari sistem pemeliharaan yang
intensif. Antibiotik biasa digunakan
dalam pemberian terpisah atau lewat pakan dengan tujuan sebagai antisipasi
pencegahan penyakit, membunuh mikroorganisme dalam pakan sehingga pakan menjadi
lebih awet, memperbaiki sistem pencernaan hewan untuk menjadi lebih efisien,
serta meningkatkan nafsu makan ikan dan udang. Chloramphenicol biasa digunakan untuk
menanggulangi infeksi bakteri anerobik, aeromonas, Pseudomonas, Mycoplasma, dan Enteroacteriaceae (Anonim, 2010).
Antibiotik
pada udang digunakan dalam pengobatan, pencegahan penyakit, dan mempercepat
pertumbuhan. Penyalahgunaan antibiotik berpotensi menimbulkan akumulasi residu
antibiotik pada jaringan tersebut.
Adanya residu antibotik pada udang ini berpotensi menyebabkan berbagai efek
buruk bagi manusia yang mengkonsumsinya. Efek yang mungkin timbul antara lain
reaksi alergi dan resistensi antibiotik pada manusia. Oleh karena itu,
dibutuhkan penelitian yang dapat menjamin keamanan pangan secara berkelanjutan
(Anonim, 2010).
1.2.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk menganalisa residu
chloramphenicol pada produk udang
windu ebi furai beku dengan metode ELISA.
Kegunaan
tugas akhir ini adalah sebagai bahan informasi tentang analisa residu chloramphenicol pada produk udang windu
ebi furai beku dengan metode ELISA dan bahaya penggunaan antibiotik chloramphenicol serta dampaknya bagi
kesehatan manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Udang
Windu
Menurut Mudjiman (2004), udang windu dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Klas : Crustacea
Sub klas
: Malacostraca
Ordo : Dekapoda
Sub ordo : Matantia
Family
: Penaenidae
Genus : Penaeus
atau Panaied
Species : Penaeus
monodon
Ditinjau
dari morfologinya, tubuh udang windu dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian
kepala dan abdomen. Bagian kepala hingga
dada disebut chepalotorax, dibungkus
kulit kitin yang tebal. Bagian ini
terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan 8 segmen. Bagian abdomen yang meliputi bagian perut dan
ekor terdiri dari 6 segmen dan 1 telson (Mudjiman, 2004).
Menurut Murtidjo (1992), udang windu dapat hidup pada kisaran salinitas 3 ppt- 35 ppt dan dalam waktu 6 bulan dapat mencapai 120 gram/ekor mulai dari benih ukuran 2 cm. Pada habitatnya, makanan udang windu bermacam-macam (omnivorus), yaitu jenis crustacea tingkat rendah seperti siput kecil, cacing, larva serangga maupun sisa-sisa bahan organik baik tumbuhan maupun hewan.
Menurut Murtidjo (1992), udang windu dapat hidup pada kisaran salinitas 3 ppt- 35 ppt dan dalam waktu 6 bulan dapat mencapai 120 gram/ekor mulai dari benih ukuran 2 cm. Pada habitatnya, makanan udang windu bermacam-macam (omnivorus), yaitu jenis crustacea tingkat rendah seperti siput kecil, cacing, larva serangga maupun sisa-sisa bahan organik baik tumbuhan maupun hewan.
Udang windu bersifat kanibal, yang menjadi sasaran
utama adalah udang yang sedang mengalami pergantian kulit. Kulit udang windu tidak elastis dan selalu
berganti kulit selama pertumbuhan. Semakin
cepat udang berganti kulit maka pertumbuhan semakin cepat. Dalam habitatnya,
udang windu dapat mencapai ukuran panjang 35 cm (Murtidjo, 1992).
Gambar 1. Morfologi
udang windu (Penaeus monodon)
(Hariadi, 1994)
Keterangan :
1. Sungut kecil 8. Ekor
2. Cucut kepala 9. Anus
3. Mata 10. Sungut besar
4. Cangkang
kepala 11. Kaki-kaki
jalan
5. Perut 12. Kaki-kaki renang
6. Punggung 13. Pembantu
rahang
7. Pangkal ekor
2.2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Daging Udang Windu
Udang merupakan hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Komposisi kimia dari jenis udang sangat
penting artinya, dilihat dari segi manfaatnya sangat memenuhi kebutuhan gizi
manusia seperti kandungan protein, vitamin dan mineral lainnya (Hadiwiyoto,
1993)
Komposisi
kimia dan nilai gizi daging udang windu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi
Kimia dan Nilai Gizi Daging Udang Windu
No
|
Kandungan
|
Satuan
|
Komposisi
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
|
Air
Protein
Lemak
Karbohidrat
Garam mineral
Kalsium
Magnesium
Fosfor
Zat besi
Natrium
Kalium
Senyawa nitrogen non protein
|
%
%
%
-
%
mg/gr
mg/gr
mg/gr
mg/gr
mg/gr
mg/gr
%
|
78,2
18
0,8
-
1,4
145-320
40-105
270-250
1,6
140
220
0,80
|
Sumber : L.A. Shelef and J.M.
Jay, 1971 (dalam
Hadiwiyoto, 1993)
2.2.1. Kandungan
Protein
Nilai protein pada
udang dikatakan sempurna karena kadar asam
amino yang tinggi, lengkap dan sekitar 85-95 % mudah dicerna tubuh. Pada 100 gr udang mentah mengandung 20,3 gr
protein atau cukup untuk memenuhi kebutuhan protein harian sebanyak 41 %. Asam amino udang (per 100 gr) berturut-turut
yang termasuk tinggi adalah asam glutamat (3.465 mg), asam aspartat (2.100 mg),
arginin (1.775 mg), lisin (1.768 mg), leusin (1.612 mg), glisin (1.225 mg),
isoleusin (985 mg) dan valin (956 mg) (Santoso, 2010).
Komposisi
protein dan asam amino esensial pada udang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Komposisi Protein dan Asam Amino
Esensial Pada Udang.
No
|
Komposisi
|
Satuan
|
Konsentrasi
|
1.
2.
|
Protein :
- Mioplasma
- Miofibril
- Miostroma
Asam amino
esensial :
- Isoleusin
- Leusin
- Lisin
- Metionin
- Sistein
- Fenilalanin
- Tirosin
- Treonin
- Triptofan
- Valin
|
%
%
%
g/100g
g/100g
g/100g
g/100g
g/100g
g/100g
g/100g
g/100g
g/100g
g/100g
|
32
59
5
0,985
1,612
1,768
0,572
0,228
0,858
0,676
0,822
0,283
0,956
|
Sumber : USDA (2003)
2.2.2. Kandungan
air
Kadar air yang terdapat
dalam udang merupakan faktor yang paling menentukan cepat atau tidaknya udang
tersebut menjadi busuk. Semakin tinggi
kadar airnya semakin cepat proses pembusukan pada udang. Keberadaan air bebas dalam udang dapat
digunakan mikroorganisme untuk berkembang biak dan sebagai media reaksi-reaksi
kimia yang dapat merusak udang seperti hidrolisa dan oksidasi lemak (Anonim,
2010).
2.2.3. Kandungan
Lemak
Kandungan
lemak udang sangat rendah hanya 106 kal/100 gr udang. Udang hanya mengandung sedikit asam lemak jenuh,
kadar asam lemak sehat pada udang sangat tinggi yaitu Omega-3 dan Omega-6
masing-masing mencapai 540 mg dan 28 mg per 100 gr udang segar (Santoso, 2010).
2.3.
Persyaratan Mutu Udang
Udang sebagai salah satu produk perikanan yang
memilliki sifat mudah busuk (highly perishable), maka penanganan yang
baik mutlak diperlukan agar mutu udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Mutu udang terutama ditentukan oleh keadaan
fisik dan organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur) dari udang tersebut
(Hadiwiyoto,
1993). Standar syarat mutu udang dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel
3. Standar Syarat Mutu dan Keamanan
Pangan Udang Beku
Jenis Uji
|
Satuan
|
Persyaratan
|
a. Organoleptik
|
angka
(1-9)
|
minimal
7
|
b. Cemaran mikroba :
·
- ALT
|
koloni/g
|
maksimal
5,0 x 105
|
·
- Escherichia
coli
|
APM/g
|
maksimal
< 2
|
·
- Salmonella
|
APM/25g
|
Negatif
|
·
- Vibrio
cholera
|
APM/25g
|
Negatif
|
·
- Vibrio
parahaemolyticus
|
APM/g
|
maksimal
< 3
|
c. Cemaran kimia :
·
- Kloramfenikol
|
Ppb
|
maksimal
0
|
·
- Nitrofuran
|
Ppb
|
maksimal
0
|
·
- Tetrasiklin
|
Ppb
|
maksimal
100
|
d. Fisika:
- Suhu pusat, maks.
|
°C
|
maksimal
-18
|
e. Filth
|
Jenis/jumlah
|
maksimal
0
|
Sumber : Badan Standarisasi
Nasional (2007)
Menurut Hadiwiyoto (1993), Udang yang digunakan
dalam industri pengolahan hanyalah udang yang memiliki mutu segar. Penilaian mutu udang dapat dilihat secara
organoleptik. Mutu udang sebagai bahan
baku akan mempengaruhi produk akhir. Udang
yang memiliki kesegaran yang baik akan menghasilkan produk akhir yang baik pula
atau sebaliknya. Berdasarkan
kesegarannya, udang dapat dibedakan menjadi empat kelas mutu, yaitu :
a.
Udang yang mempunyai mutu prima (prime) atau baik sekali, yaitu udang-udang
yang benar-benar masih segar, belum ada perubahan warna, transparan dan tidak
ada kotoran atau noda-nodanya.
b.
Udang yang mempunyai mutu baik (fancy). Udang ini mutunya dibawah prima, ditandai
dengan adanya kulit udang yang sudah tampak pecah-pecah atau retak-retak, tubuh
udang lunak tetapi warnanya masih baik dan tidak terdapat kotoran atau
noda-nodanya.
c.
Udang bermutu sedang (medium, black dan spot). Pecah-pecah pada kulit udang lebih banyak
daripada udang yang bermutu baik. Udang
sudah tidak utuh lagi, kakinya patah, ekornya hilang atau sebagian tubuhnya
putus. Daging udang sudah tidak lentur
lagi, pada permukaan tubuhnya sudah tampak banyak noda berwarna hitam atau
merah gelap.
d.
Udang yang bermutu rendah (jelek dan rusak). Kulit udang banyak yang pecah atau mengelupas,
ruas-ruas tubuh sudah banyak yang putus dan udang sudah tidak utuh lagi
2.4.
Kemunduran Mutu Udang
Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh
faktor-faktor yang berasal dari badan
udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini terjadi secara autolisis,
bakteriologis dan oksidatif (Purwaningsih, 1995).
Kemunduran mutu udang sangat berhubungan dengan
komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Sebagai
produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah busuk bila
dibandingkan dengan ikan. Oleh karena
itu, penanganan udang segar memerlukan perhatian dan perlakuan yang cermat. Susunan tubuh udang mempunyai hubungan erat dengan masa simpannya.
Bagian kepala merupakan bagian yang
sangat berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian kepala mengandung enzim
pencernaan dan bakteri pembusuk (Purwaningsih, 1995).
Kerusakan biokimia disebabkan oleh kerusakan enzim
yang ada dalam tubuh udang. Enzim
tersebut menguraikan atau membongkar senyawa-senyawa makromolekul dan mudah
menguap sehingga timbul bau busuk atau tidak sedap. Kerusakan mikrobiologis dipacu oleh
pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam tubuh dan permukaan udang, setelah
udang mati pertahanan tubuhnya berkurang sehingga mikroba dapat menyerang
daging udang. Pengaruh lingkungan
seperti sinar matahari dan suhu dapat menjadi penyebab utama kerusakan fisik.
Penigkatan suhu dapat mempercepat proses oksidasi dan tekstur udang menjadi lunak
(Hadiwiyoto 1993).
Salah satu cara untuk menghambat proses penurunan
mutu udang segar adalah dengan pembekuan yang merupakan cara yang paling baik
untuk penyimpanan jangka panjang. Apabila
cara pengolahan dan pembekuan dilakukan dengan baik dan bahan mentahnya masih
segar, maka dapat dihasilkan udang beku
yang bila dicairkan mendekati sifat-sifat udang (Moeljanto, 1992)
2.5.
Tinjauan Umum Produk Udang Windu Ebi
Furai Beku
Gambar
2. Produk Udang Windu Ebi Furai Beku
Udang
windu ebi furai beku adalah salah satu produk udang windu beku yang dilapisi
dengan lapisan tepung roti sebelum dibekukan.
Pemberian lapisan roti ini merupakan cara yang paling umum untuk
meingkatkan nilai dari suatu produk dan sudah diterima secara universal karena konsumen dapat
memperoleh penampakan, aroma dan flavor sesuai dengan selera, dimana tepung
roti tersebut merupakan bahan tambahan pada produk tersebut (ASEAN-Canada
Fisheries 1994) bahan tambahan makanan merupakan nilai tambah bagi produk
makanan.
2.6.
Bahan Tambahan Pangan Yang Dilarang Penggunaannya
Bahan tambahan pangan
sangat berpengaruh terhadap kualitas suatu makanan. Sehingga, peredaran dan penggunaannya
memerlukan pengawasan. Pemerintahlah yang berkompeten dalam hal ini karena berkaitan
dengan keamanan makanan. Ada beberapa
jenis bahan tambahan makanan yang dilarang penggunaanya, sebagaimana diatur
oleh peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 722/MenKes/Per/IX/1988 tanggal 22 September
1988 dan peraturan Menteri Kesehatan No 1168/MenKes/Per/X/1999 (Saparinto
dan Hidayati, 2006). Beberapa bahan
tambahan makanan yang dilarang penggunaannya yaitu :
·
Asam borat dan senyawanya
·
Asam salisilat dan garamnya
·
Dietilpirokarbonat
·
Dulsin
·
Kalium klorat
·
Chloramphenicol
·
Minyak nabati yang dibrominasi
·
Nitrofurazon
·
Formalin
Chloramphenicol
merupakan salah satu dari sembilan jenis bahan tambahan makanan yang dilarang
di Indonesia (Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88). Walaupun demikian,
penggunaan chloramphenicol pada
komoditas perikanan (udang dan ikan) telah merebak di pasaran lokal, regional
maupun internasional sehingga menghambat bahkan menggagalkan ekspor terutama
udang dari Indonesia ke berbagai negara di dunia. Puncak kegagalan ekspor terjadi saat diterapkannya
zero tolerance kandungan chloramphenicol
oleh negara Uni Eropa terhadap komoditas udang yang diimpornya (Anonim, 2002).
2.7. Antibiotik
Antibiotik adalah
segolongan senyawa, baik alami maupun sintesis, yang mempunyai efek menekan
atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam
proses infeksi oleh bakteri (Craig, 1998 dalam Temaja, 2010) Penggunaan
antibiotik khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun
dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi
terhadap mutan atau transforman (Anonim, 2011).
Antibiotik akan
mengalami transportasi tergantung pada daya ikatnya terhadap protein plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein
itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu memiliki kemampuan sebagai
antimikroba. Semua jenis antibiotik
dengan cara kerja tersebut dapat bersifat mematikan atau menghambat antibiotik (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008).
Antibiotik bersifat
mematikan, bila dosisnya tinggi. Sedangkan
antibiotik bersifat menghambat bila dosisnya rendah. Penggunaan antibiotik ini (pada manusia dan
hewan) akan menghantarkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya
mikroba sebagai target antibiotik tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain
yang memiliki habitat yang sama dengan mikroorganisme target. Hal ini dimungkinkan karena adanya transfer
materi genetik (plasmid atau transposon) diantara genus bakteri yang berbeda
yang masih memiliki hubungan dekat, meliputi bakteri Escherichia coli, Klebsiella,
dan Salmonella (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008).
2.7.1 Cara Kerja Antibiotik
Antibiotik memiliki cara kerja sebagai
bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat
pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostatis, mekanisme pertahanan tubuh
inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak
mikroorganisme (Corner,
1995 dalam Maratua, 2008)
Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap
bakteri sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat
sintesis protein, merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan
menghambat sintesis metabolit esensial. Antibiotik
bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai
metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotik berbeda dengan desinfektan karena
cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman
dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008)
2.7.2.
Chloramphenicol
Gambar 3. Struktur Molekul Chloramphenicol
Chloramphenicol
(CAP) merupakan antibiotik yang diperoleh secara alami dari biakan bakteri Streptomyces venezuelae atau diproduksi
secara sintesis yang aktif terhadap beberapa jenis bakteri antara lain bakteri
aerobik dan aerobik, mycoplasma, organisme chlamydal (SNI 7587.3:2010)
Chloramphenicol is effective
against a wide variety of and , including most . Chloramphenicol efektif terhadap berbagai bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, termasuk sebagian organisme anaerobik, Due to resistance and safety concerns, it is no longer a
first-line agent for any indication in developed nations, although it is
sometimes used topically for .karena kekhawatiran resistensi dan keselamatan,
maka tidak ada lagi agen lain
untuk setiap indikasi dalam negara-negara maju, meskipun kadang-kadang
digunakan secara tropikal untuk infeksi mata. Nevertheless,
the global problem of advancing bacterial resistance to newer drugs has led to
renewed interest in its use. In low-income countries, chloramphenicol is still
widely used because it is inexpensive and readily available. Namun
demikian, masalah global maju resistensi
bakteri terhadap obat yang lebih baru telah menyebabkan minat baru dalam
penggunaannya (Saparinto, 2002)
Penanganan antibiotik chloramphenicol
dalam bidang perikanan tidak dianjurkan, untuk mengantisipasinya maka seluruh
produk perikanan harus dilakukan analisa
chloramphenicol sebelum penanganan
lebih lanjut, analisa chloramphenicol
menggunakan metoda ELISA yaitu analisa dengan prinsip reaksi hidrolisis,
enzymatis, dan ekstraksi (Saparinto, 2002)
Beberapa produk udang
asal Indonesia yang diekspor ditolak
masuk karena diketahui mengandung residu antibiotik chloramphenicol. Penggunaan
antibiotik banyak dilakukan dalam budidaya udang sebagai akibat dari sistem
pemeliharaan yang intensif (Saparinto,
2002)
2.7.3. Dampak Negatif Pepnggunaan Chloramphenicol
Chloramphenicol telah sejak lama digunakan dalam industri
peternakan dan kedokteran, residunya menyebabkan kematian pada penderita anemia
yang bisa berlanjut ke leukemia. Antibiotik
ini juga diduga sebagai penyebab timbulnya Gray
Baby Sindrome yaitu gejala bayi berkulit warna abu-abu, perut kembung, suhu
tubuh rendah, susah bernapas, demam, yang bisa menyebabkan kematian. Mempertimbangkan bahaya tersebut sudah sejak
1985 USDA CES (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) menetapkan chloramphenicol sebagai obat keras dan
karena itu tidak diperbolehkan digunakan dalam budidaya ternak dan perikanan (Saparinto,
2002)
2.7.4. Sumber Antibiotik Chloramphenicol
Adanya kandungan chloramphenicol pada produk udang windu
disebabkan karena pada saat udang masih ditambak diberikan chloramphenicol pada pakan untuk membasmi serangan penyakit pada
udang windu. Serangan penyakit tersebut adalah penyakit udang nyala yang
disebabkan oleh bakteri vibrio harveyi. Serangan bakteri ini sering dikaitkan dengan
adanya stres pada udang windu akibat perubahan keadaan lingkungan yang buruk
sehingga bakteri tersebut berkembang dengan cepat (BBPMHP,
2002 dalam Syafitrianto, 2009).
Sumber residu chloramphenicol di UPI juga diperkirakan
berasal dari bahan-bahan disinfektan yang digunakan untuk mencuci udang di unit
pengolahan. Sumber lainnya adalah salep
yang sering digunakan untuk mengobati bagian tubuh pekerja yang luka. Oleh karena itu pada saat pengawasan,
bahan-bahan desinfektan dan salep dilarang untuk digunakan kapan saja. Pekerja yang bagian tangannya terluka
dilarang menangani produk untuk menghindari pencemaran. Berdasarkan laporan pengawas mutu, beberapa
unit pengolahan udang pernah menggunakan bahan disinfektan yang diduga mengandung
chloramphenicol (BBPMHP,
2002 dalam Syafitrianto, 2009).
2.7.5.
Larangan Penggunaan Antibiotik Chloramphenicol
Jenis
antibiotik chloramphenicol dan nitrofurans sebenarnya telah dilarang
untuk digunakan pada budidaya perikanan, karena jenis antibiotik ini
membahayakan kesehatan manusia. Di
Indonesia keduanya masih lazim digunakan mulai dari pembenihan sampai
pembesaran udang. Tetapi dengan adanya
penolakan bahan pangan yang mengandung dua jenis antibiotik tersebut dari
masyarakat konsumen, kususnya di Uni Eropa dan Amerika Serikat, maka pemerintah
khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan sangat serius melakukan pengawasan
terhadap penggunaan bahan antibiotik ini. (BBPMHP,
2002 dalam Syafitrianto, 2009).
Salah satu tindakan yang terpenting untuk mencegah timbulnya residu antibiotik pada
udang adalah dengan menetapkan peraturan pelarangan penggunaan antibiotik pada
budidaya udang (BBPMHP, 2002 dalam
Syafitrianto, 2009).
Beberapa peraturan yang telah
diterbitkan antara lain :
1. Keputusan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai
pelarangan penggunaan antibiotik pada makanan.
pelarangan penggunaan antibiotik pada makanan.
2.
Keputusan Menteri
Pertanian No. 806/Kpts/TN.260/12/94 mengenai
klasifikasi obat hewan. Dalam keputusan ini, chloramphenicol dan nitrofuras dikategorikan sebagai antibiotik yang berbahaya dan dilarang digunakan pada praktek pembudidayaan perikanan.
klasifikasi obat hewan. Dalam keputusan ini, chloramphenicol dan nitrofuras dikategorikan sebagai antibiotik yang berbahaya dan dilarang digunakan pada praktek pembudidayaan perikanan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, tanggal 19
Oktober 2001 mengenai pelarangan penggunaan antibiotik tertentu pada budidaya udang.
Oktober 2001 mengenai pelarangan penggunaan antibiotik tertentu pada budidaya udang.
Agar penanggulangan residu
antibiotik pada budidaya perikanan lebih efektif, maka Depertemen Kelautan dan
Perikanan membentuk Panitia Nasional tentang pencegahan residu antibiotik, pada tanggal 12 Oktober 2001. Disamping itu, di tingkat daerah provinsi dan
kabupaten juga membentuk tim daerah yang mempunyai tugas dan tujuan yang sama (BBPMHP, 2002 dalam
Syafitrianto, 2009).
2.7.6.
Metode Pengujian Antibiotik Chloramphenicol
Metode uji resmi untuk residu CAP yang umum
digunakan dibeberapa Negara adalah metode chromatography.
Selain metode chromatography juga
digunakan metoda ELISA yang dapat digunakan sebagai metode alternatif, meskipun
metode ini tidak dianggap sebagai metoda resmi atau metode konfirmatif. Gas dan Liquid chromatography-MS merupakan alat uji yang paling canggih, mahal dan
mampu mendeteksi residu chloramphenicol
atau residu nitrofuras dalam kadar
yang sangat rendah yaitu 0,1 ppb. Jenis
alat lain yang lebih sederhana, dan relatif lebih murah adalah High Performance Liquid Chromatography
(HPLC). Alat atau metode ini mampu juga
mendeteksi residu serendah metode LC/GC-MS (Anonim, 2010).
Berdasarkan hasil kajian atau verifikasi oleh
BBPMHP, HPLC dapat digunakan untuk menguji residu chloramphenicol dengan batas deteksi 0.16 ppb. Negara anggota UE umumnya
menggunakan metode pengujian LC-MS atau GC-MS untuk
mengukur kadar residu chloramphenicol dan nitrofuran
pada udang (Anonim, 2010).
·
Metode
Elisa (Enzym Linked Immunoassay)
Dalam metode ELISA
digunakan dua macam antibodi yang berbeda dalam jumlah berlebih. Dimana antibodi tersebut dapat mendeteksi dan
terikat dengan antigen (toksin) pada dua sisi yang berbeda. Antigen akan terikat dengan antibodi pertama
yang biasanya diikat dengan support padat.
Antibodi kedua terikat dengan suatu enzim dan akan mencari zat yang
telah terikat (Winarno, 2007).
Aktifitas
enzim merupakan hasil pengukuran absorbansi hasil reaksi antara enzim dengan
substrat kromogenik. Enzim yang umum digunakan dalam metode elisa
adalah beta galaktosidase, alkalin
fosfatasei dan peroksidase. Kurva
kalibrasi dapat dibuat yang menunjukkan hubungan antara absorbansi, kemudian
absorbansi yang diperoleh dari contoh diinterpolasikan pada kurva tersebut (Winarno,
2007)
Setiap
kali sebelum penambahan antibodi dilakukan pencucian untuk menghilangkan
antibiotik yang tidak terikat, oleh karena itu metode ELISA tidak langsung
memerlukan tahap analisis yang lebih lama (Winarno, 2007)
·
Liquid Chromatography – Tandem Mass
Spectroscopy (LC - MS/MS)
Kromatografi cair-spektrometri massa (LC-MS,
HPLC atau alternatif-MS) adalah suatu teknik kimia analitik yang menggabungkan kemampuan pemisahan fisik kromatografi cair (HPLC) dengan kemampuan analisis massa spektrometri massa. LC-MS adalah teknik
yang kuat digunakan untuk banyak aplikasi yang memiliki sensitivitas sangat tinggi dan selektivitas. Umumnya aplikasi berorientasi
terhadap deteksi dan identifikasi
yang spesifik potensi bahan kimia dalam kehadiran bahan kimia lainnya (Anonim, 2010)
·
High
Performance Liquid Chromatograph (HPLC)
Kromatografi cair
berperforma tinggi (high performance liquid chromatography (HPLC)
merupakan salah satu teknik kromatografi untuk zat cair yang
biasanya disertai dengan tekanan tinggi. Seperti
teknik kromatografi pada umumnya, HPLC berupaya untuk memisahkan molekul
berdasarkan perbedaan afinitasnya terhadap zat padat tertentu. Cairan yang akan dipisahkan merupakan fase
cair dan zat padatnya merupakan fase diam (stasioner). Teknik ini sangat berguna untuk memisahkan
beberapa senyawa sekaligus karena setiap senyawa mempunyai aktivitas selektif
antara fase diam dan fase gerak tertentu. Dengan bantuan detektor serta
integrator kita akan mendapatkan kromatogram. Kromatorgram memuat waktu lambat
serta tinggi puncak suatu senyawa (Anonim, 2011)
HPLC secara mendasar merupakan perkembangan tingkat tinggi
dari kromatografi kolom. Selain dari pelarut yang menetes melalui kolom dibawah
grafitasi, didukung melalui tekanan tinggi sampai dengan 400 atm. Hal ini
membuatnya lebih cepat (Anonim, 2010)
2.8.
Jenis ELISA
Metode elisa dilakukan dengan membandingkan
dengan konsentrasi standar yang
diketahui. Apabila sinyal yang diberikan
contoh lebih kuat daripada standar maka disebut positif, apabila lemah disebut
negatif. Selain itu dapat juga
ditentukan konsentrasi antibodi/antigen dalam contoh (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008).
Beberapa jenis
elisa sebagai berikut :
1. Inderect ELISA
Secara umum indirect elisa digunakan untuk
penetapan konsentrasi antibodi dalam darah.
Darah diinkubasikan pada well, setelah itu ikatan antibodi yang lemah
dicuci. Antibodi kedua ditambahakan untuk
mendeteksi ikatan antibodi. Enzim ini
dapat merubah substrat menjadi berwarna.
Setelah reaksi selesai dilakukan penetapan dengan elisa plate reader (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008).
2. Sandwich ELISA
Sandwich elisa terdiri dari:
1. Plate
yang dilapisi penangkap antibodi
2. Contoh
yang ditambahkan dan sejumlah antigen yang terkandung terikat pada penangkap antibodi
3. Pendeteksi
antibodi ditambahkan dan mengikat antigen, enzim yang mengikat antibodi yang
lain ditambahkan dan mengikat pendeteksi antibodi
4. Substrat
ditambahkan dan diubah oleh enzim menjadi bentuk yang dapat dideteksi (produk
berwana)
5. Untuk
penetapan secara kuantitatif produk warna diukur absorbansinya.
Keuntungan dari
penggunaan sandwich elisa yaitu dapat digunakan untuk campuran atau contoh yang
tidak murni dan tetap selektif mengikat tiap antigen dalam contoh. Konjugat antibodi universal dapat digunakan
sebagai antbodi kedua meskipun berlawanan dengan antibodi primer. Metode ini lebih sensitif daripada metode
tidak langsung dan metode competitive (Corner,
1995 dalam Maratua, 2008).
3. Competitive ELISA
Tahapan dalam penetapan competitive
elisa yaitu :
1. Antibodi
tidak berlabel (contoh) yang mengandung antigen diinkuasi
2. Ikatan
kompleks antibodi terjadi saat ditambahkan pada antigen pada well
3. Plate
dicuci untuk membuang antibodi tak berikatan (antigen dalam contoh) dan antibodi
akan bersaing untuk terikat pada antigen pada well
4. Antibodi
kedua yang spesifik terhadap antibodi pertama ditambahkan. Antibodi kedua akan berpasangan dengan enzim
5. Substrat
ditambahkan yang dapat menghasilkan produk warna sebagai sinyal.
2.9.
Prinsip ELISA
ELISA adalah suatu teknik deteksi dengan
metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan
antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan
menggunakan enzim sebagai indikator (Corner,
1995 dalam Maratua, 2008)
Prinsip dasar ELISA
adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara
pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau
antigen yang dilabel enzim. Enzim ini
akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008)
Warna yang timbul dapat ditentukan
secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan pembacaan nilai
absorbansi (OD) pada ELISA plate reader (Burgess, 1995 dalam Maratua, 2008)
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penulisan tugas akhir
ini berdasarkan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) selama kurang lebih
tiga bulan, yaitu bulan Maret sampai Juni 2011 yang dilaksanakan di PT. Bogatama Marinusa Kawasan Industri Makassar.
3.2. Metode Pengambilan Data
Metode
penulisan dan pengambilan data yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir ini
ialah dengan melakukan analisa residu chloramphenicol
dengan metode competitive ELISA pada produk udang windu ebi furai beku dan
studi pustaka.
3.3. Alat
dan Bahan
Alat yang
digunakan yaitu :
·
Rak Tabung
·
Tabung Pemusing
·
Pipet Ukur
·
Pinset
·
Well
·
Petridish
·
Yellow Tip
·
Blue Tip
·
Mikro Pipet
· Laminar Flow
· Lumpang Porselin
· Bulb
·
Star Fax 303
·
Centrifuge
·
Timbangan
Analitik
Bahan
yang digunakan yaitu :
·
Sampel
udang windu ebi furai
·
Eliza Tes Kit
·
N-heksan (CH3(CH2)4CH3)
· Enzym
Konjugate
·
Wash Solution
·
Etil Asetat (CH3COOC2H5)
·
Aquadest
3.4.
Prosedur Kerja
Preparasi contoh :
1.
Sampel
dihaluskan dengan menggunakan lumpang
porselin
2.
Disiapkan 2 buah
tabung centrifuge, kemudian sampel ditimbang sebanyak 3 gr dan dimasukkan ke dalam
masing-masing tabung centrifuge
3.
Ditambahkan 6 ml
Etil Asetat ke dalam tabung pemusing yang berisi sampel, kemudian dikocok
selama 3 menit sampai homogen.
4.
Dimasukkan ke
dalam alat centrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 4000 rpm
5.
Dipipet 2 ml
bagian lapisan atas yang terpisah
6.
Dimasukkan ke
dalam tabung pemusing yang baru dan dikeringkan dengan gas Nitrogen (N2)
60 – 70oC.
7.
Setelah kering
ditambahkan 1 ml N-hexan dan Extraction buffer
8.
Dikocok sampai
homogen selama 2 menit dan dimasukkan ke dalam alat centrifuge selama 10 menit
dengan kecepatan 4000 rpm.
Prosedur Eliza
1.
Larutan standar secara berurut 1-6 CAP
dipipet ke dalam well 100 µl dan 100 µl contoh, tambahkan juga ke dalam well 50
µl CAP-HRP Konjugate dan Enzym
Konjugate pada sampel.
2.
Dihomogenkan selama 1 menit, kemudian
diinkubasikan selama 1 jam dalam temperatur ruangan.
3.
Dibilas 3 kali dengan 250 µl Wash
Solution (larutan pencuci), dikeringkan piringannya dengan cara menghentakkan
pada tissue kering.
4.
Ditambahkan 100 µl TMB substrat ke dalam
well dan dihomogenkan selama 1 menit, kemudian diinkubasikan selama 20 menit
pada temperatur ruangan.
5.
Ditambahkan 100 µl stop buffer ke dalam
well, kemudian well dibaca pada Elisa Reader.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil yang diperoleh selama melakukan
analisa residu chloramphenicol pada produk udang windu ebi furai beku di
laboratorium PT. Bogatama Marinusa Makassar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengujian Residu Chloramphenicol (CAP) Udang Windu Ebi
Furai Beku.
Sampel
|
Chloramphenicol (CAP) / (ppb)
|
|
1
|
0.040
|
|
2
|
0.038
|
|
3
|
0.038
|
|
4
|
0.054
|
|
5
|
0.040
|
|
6
|
0.041
|
Sumber : Lab. PT. Bogatama
Marinusa, Makassar
Keterangan : 1
= Pengujian tanggal 9 Mei 2011
2
= Pengujian tanggal 10 Mei 2011
3
= Pengujian tanggal 11 Mei 2011
4
= Pengujian tanggal 12 Mei 2011
5
= Pengujian tanggal 13 Mei 2011
6
= Pengujian tanggal 14 Mei 2011
4.2 . Pembahasan
Hasil pengujian
residu chloramphenicol pada produk
udang windu ebi furai beku pada keenam sampel yang diuji seperti pada Tabel 3
menunjukkan bahwa rata-rata kandungan residu antibiotik chloramphenicol dibawah 0,05
ppb, dimana standar yang ditetapkan oleh perdagangan internasional adalah 0,3
ppb. Hal ini berarti produk udang windu ebi
furai beku yang diproduksi di PT. Bogatama Marinusa, Makassar memenuhi standar
ekspor.
Chloramphenicol
selain terdapat pada pakan ikan dan udang budidaya, juga digunakan untuk
pengobatan maupun pembilasan kolam dalam proses produksi dan sebagai desinfektan
sebelum produk tersebut diproses lebih lanjut.
Penyalagunaan antibiotik tersebut mengakibatkan tertinggalnya bahan
kimia sebagai residu dalam daging udang dan ikan yang dikhawatirkan dalam
jumlah dan waktu lama akan menimbulkan gangguan kesehatan yaitu terjadinya anemia aplastik pada konsumennya
(Winarno, 2002)
Penggunaan antibiotik chloramphenicol pada udang dilakukan
dengan tujuan untuk mencegah timbulnya penyakit udang nyala yang disebabkan oleh bakteri Vibrio
sp, karena pada saat ini penyebab timbulnya
peyakit tersebut masih menjadi fokus perhatian utama
dalam produksi budidaya udang, sehingga perlu penggunaan antibiotik chloramphenicol tersebut, tetapi penggunaan antibiotik dalam budidaya udang dapat merugikan karena dapat memunculkan bakteri yang tahan terhadap antibiotik
serta munculnya residu antibiotik (Saparinto, 2002)
Pemberian antibiotik chloramphenicol pada budidaya udang
biasanya dilakukan dua kali yaitu sejak pembenihan dan pembesaran, tetapi pemberian
pada tahap pembenihan antibiotik tersebut terdegradasi selama pertumbuhan,
sehingga masih aman dalam penggunaannya. Sedangkan pemberian antibiotik chloramphenicol selama pembesaran dapat
menyebabkan tertinggalnya residu dalam daging udang dan sulit untuk
terdegradasi (Saparinto, 2002)
Udang yang sudah mengandung residu
antibiotik chloramphenicol sulit
untuk dihilangkan, sehingga perusahaan yang mengolah udang harus menganalisa
residu antibiotik tersebut, karena jika didapatkan residu yang melebihi standar
yang ditetapkan, perusahaan tersebut tidak bisa mengeekspor udang yang
diolahnya.
Jika residu antibiotik chloramphenicol terdapat dalam produk
dan dikonsumsi oleh manusia secara terus menerus maka lama kelamaan residu
tersebut akan tertinggal dalam tubuh dan dapat mengakibatkan penyakit anemia
aplastik. Penyakit ini muncul karena sumsum tulang tidak dapat membentuk sel
darah merah dalam jumlah cukup. Hal ini
diakibatkan oleh adanya residu antibiotik chloraphenicol
yang terdapat dalam tubuh.
Antibiotik
merupakan suatu senyawa kimia yang sebagian besar dihasilkan oleh
mikroorganisme, karakteristiknya tidak seperti enzim, dan merupakan hasil dari
metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yang berlebih pada tubuh manusia
dapat menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik yang dikonsumsi. Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba
oleh antibiotik.
Pada proses analisa residu
antibiotik chloramphenicol dilakukan penambahan
etil asetat yang berfungsi untuk melarutkan zat-zat yang terdapat dalam daging
udang, etil asetat ini digunakan karena memiliki kemampuan daya larut yang kuat, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan
pada suhu 60-70oC karena suhu tersebut mempermudah penguapan, serta
penambahan N-hexan dan extraction buffer dengan tujuan untuk mengekstrak
endapan yang ada dalam tabung.
Proses selanjutnya standar elisa kit 1-6
dimasukkan kedalam well secara beruurutan mulai dari standar 0,00 ppb, 0,05
ppb, 0,15 ppb,0,5 ppb, 1,5 ppb dan 4,5 pbb, kemudian dilanjutkan dengan proses
inkubasi. Pada tahap ini harus sesuai
dengan waktu yang ditentukan, karena jika waktu yang digunakan lebih atau
kurang dari yang ditetapkan maka akan berdampak pada hasil pembacaan
absorbansi.
Proses setelah inkubasi dilakukan pencucian pada well sebanyak 3 kali dengan tujuan untuk menghilankan antibodi yang tidak berikatan dengan antigen, kemudian dilakukan inkubasi kembali dengan penambahan substrat solution, setelah waktu inkubasi selesai maka ditambahkan stop buffer dengan tujuan untuk menghentikan kerja enzim.
Proses setelah inkubasi dilakukan pencucian pada well sebanyak 3 kali dengan tujuan untuk menghilankan antibodi yang tidak berikatan dengan antigen, kemudian dilakukan inkubasi kembali dengan penambahan substrat solution, setelah waktu inkubasi selesai maka ditambahkan stop buffer dengan tujuan untuk menghentikan kerja enzim.
Proses terakhir yaitu pembacaan well pada
elisa reader dengan menggunakan alat star fax dengan tipe 303 dengan cara well dimasukkan
pada alat kemudian tombol ditekan pada alat, maka akan keluar pembacaan pada
kertas. Hasilnya berupa angka dari
pembacaan absorban dan angka tersebut diproses dalam microsoft excel yang sudah
terprogram.
Metode yang digunakan
dalam pengujian ini adalah menggunakan metode competitive ELISA, keuntungan
dari metode ini adalah tidak perlu menggunakan antibodi primer yang dimurnikan
sehingga antibodi yang digunakan langsung dari Elisa kit yang dimasukkan ke
dalam well dan diinkubasikan bersama dengan standar dan sampel.
Jika
residu chloramphenicol terdapat di
dalam sampel, maka akan bersaing dengan CAP-HRPO Conjugate untuk berikatan
hingga habis dengan antibodi yang ditanam di dalam wells. Saat jumlah residu cukup maka residu CAP akan
membuat jenuh antibodi. Sehingga reaksi
Enzyme-Substrat tidak diteruskan tetapi hanya akan terlihat warna terang, yang
berarti hasil uji positif.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan sebelum pengujian chloramphenicol dilakukan yaitu :
1.
Kit
dikeluarkan dari refrigerator sekitar 30 menit sebelum analisa.
2.
Dicampur
dan dihomogenkan setiap larutan dengan
benar sebelum digunakan.
3.
Beberapa
microtiter well strip dikeluarkan (sebanyak yang dibutuhkan), selebihnya segera
dimasukkan ke dalam wadah alumunium dan disimpan pada suhu 40oC di dalam
refrigerator.
4.
washing
solution diencerkan
dengan aquabidest (10 kali) yaitu 1 ml washing
solution dengan 9 ml aquabidest.
5. Standar berisi chloramphenicol, maka dipergunakan
dengan hati-hati.
Produk udang windu ebi furai beku
adalah produk udang mentah
beku yang melalui proses pengolahan yang cukup panjang,
mulai dari pemotongan kepala, pengupasan kulit dan sisa satu ruas bagian ekor Peleed Devein Tail On (PDTO). Pemotongan kepala dilakukan segera setelah
udang tersebut diterima, akan tetapi
masih memiliki kulit, kaki dan ekor.
Pemotongan kepala ini dilakukan secara manual dengan cara mematahkan kepala
dari arah bawah ke atas. Bagian yang dipotong mulai dari batas kelopak penutup
kepala sampai batas leher bagian atas.
Rendemen yang dihasilkan setelah potong kepala berkisar 63 – 65%.
Selanjutnya udang yang sudah dipotong
kepalanya dilakukan pengupasan kulit dimana satu ruas bagian ekor disisa
(PDTO), telson pada ekor di kupas dan usus dicungkil karena usus pada udang
tersebut merupakan tempat kotoran dan tempat berkumpulnya bakteri yang dapat
mempercepat kemunduran mutu udang. Setelah
itu dilumuri dengan tepung predust dan dicelup kedalam butter mix kemudian
pemberian roti dimana udang tersebut dibalut dengan roti halus terlebih dahulu
kemudian roti kasar dan kemudian dibekukan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa :.
· Dari
hasil pengujian didapatkan residu antibiotik chloramphenicol pada produk udang
windu ebi furai beku rata-rata
dibawah 0,05 ppb, dimana standar yang ditetapkan oleh perdagangan internasional
adalah 0,3 ppb, sehingga masih memenuhi standar ekspor.
· Hal
penting yang harus diperhatikan selama proses pengujian antibiotik chloramphenicol yaitu lama inkubasi,
karena apabila waktu inkubasi tidak sesuai dengan yang ditentukan maka akan
berpengaruh terhadap pembacaan absorban.
5.2. Saran
Untuk menghindari
terjadinya kontaminasi pada well yang lain, sebaiknya pengujian dilakukan
dengan teliti dan hati-hati dan disarankan untuk memperhatikan pergantian pipet
yang telah digunakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2002. Pemakaian Antibiotik Dilarang Dalam Budidaya Ikan & Udang. Suara merdeka
http://id.wikipedia.org/wiki/pemakaian antibiotik.htm (diakses pada 20
agustus 2011)
Anonim. 2008. Pengertian High Performance Liquid Chromotography. http://en.wikipedia.org/wiki/Liquid_chromatography%E2%80%93mass_spectrometry (diakses pada 20
agustus 2011)
Anonim. 2010b. Uji
-skripsi-anilisis residu antibiotik - 06613079 - Fachmi Hidayati-6969840634
– abstract (diakses pada 20 agustus 2011)
ASEAN-Canada Fisheries. 1994. Production
of Battered an Breaded Fish Products from Minced Fish and Surimi. Post-Harvest
Technologi Project-Phase II.
Badan
Standarisasi Nasional (BSN) 2010.
Standar Nasional Indonesia SNI 7587.3:2010. Metode
Uji Residu Antibiotik secara Enzyme Linked Immunoassay (ELISA) pada ikan dan
udang-Bagian 3: Chloramphenicol (CAP)
Dewan Standarisasi Nasional – DSN. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional (BSN)
2007. SNI 01-2705-2005. Udang Beku. Dewan Standarisasi Nasional –
DSN. Jakarta.
European
Regulation (EC) No. 178/2002 of the European Parlement and the Council
Laying down the general principles and requipment of food law, estabilishing
the European food safety authority and laying down procedures in matter of food
safety, 28 januari 2002. Official
Jurnal of the European Communities.
Hadiwiyoto,
S. 1993.
Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan, Jilid 1. Liberty. Yogyakarta
Hariadi
S. 1994. Pembekuan Udang Jilid I. Surabaya : Karya Anda.
Maratua.
2008. Analisis Residu Tetrasiklin Pada
Udang Windu Untuk Ekspor Menggunakan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay ( ELISA) http///provokasi-1985:November
2008
arsif antibiotik.htm (diakses pada
23 mei 2011)
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil
Perikanan. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Mudjiman,
A. 2004.
Makanan Ikan Edisi Revisi,
Penebar Swadaya. Depok.
Murtidjo. 1992.
Budidaya udang dan bandeng. Penerbit kanisius . Yokyakarta
Purwaningsih. S, 1995. Teknologi
Pembekuan Udang. Swadaya. Jakarta
Santoso. D. 2010. Udang
Kaya Protein dan Rendah Kalori.
http://
www. dennysantoso.
com/turunkankolesterol/Udang-Kaya-Protein-dan-Rendah-Kalori.html (diakses pada 3 Agustus 2011)
Saparinto
dan Hidayati. 2006. Bahan
Tambahan Pangan, Penerbit Kanisius, Yokyakarta
Saparinto. 2002. Pemakaian Antibiotik Dilarang Dalam Budidaya
Ikan dan Udang. http :// www. detik. com/bisnis ekonomi /2002/03/27/20020327-182049. (diakses pada Jumat 20 Mei 2011)
Suyanto
dan Mujiman. 2003. Budidaya udang Windu, Penebar Swadaya. Jakarta
Syafitrianto,
H. 2009. Antisipasi
Penolakan Hasil Budidaya. http :// Wacana Sains Perikanan. Blogspot.
Com /2009/12/antisipasi-penolakan-hasil-budidaya-di. html (diakses pada 5
Juni 2011)
Temaja.
2010. Laporan Assei Mikrobiologi. http :// dweeja. wordpress. Com /2010/05/21/
laporan-assei-mikrobiologi (diakses pada 20 agustus 2011)
Winarno, FG. 2002. Masalah Khloramfenikol Pada Produksi Udang
Di Indonesia. Jakarta : Departemen Perikanan dan Kelautan.
Winarno,
FG. 2007. Analisis Laboratorium (Gastroentroenteritis dan Keracunan Pangan),
M-BRO PRESS, Cetakan 1